Pada tahun 2004, negara Indonesia
mengadakan pemilu yang diikuti oleh 24 partai politik. Perhatikan gambar di
atas! Pemilu di Indonesia dimulai pada tahun 1955 yang diikuti puluhan partai,
organisasi masa, dan perorangan. Masih ingatkah kalian bahwa setiap kali akan
diselenggarakan Pemilihan Umum diadakan kampanye dari masing- masing partai
politik peserta pemilu? Dalam kampanye tersebut dipaparkan masing- masing
program partainya. Hal ini merupakan pendidikan politik bagi rakyat. Akan
tetapi dalam kampanye seringkali ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan
karena adanya pelanggaran dari aturan yang dibuat bersama. Rakyat sering
menjadi korban dari orang- orang yang tidak bertanggung jawab ketika adanya
arak- arakan kampanye. Walaupun seringkali memakan korban dari kampanye yang
merupakan rentetan dari pemilu, namun Pemilihan Umum tetap diadakan sebab
merupakan syarat sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Indonesia
sebagai negara demokrasi mulai melaksanakan Pemilihan Umum pada tahun 1955.
Pemilu I tahun 1955 yang didambakan rakyat dapat meperbaiki keadaan ternyata
hasilnya tidak memenuhi harapan rakyat. Krisis politik yang berkepanjangan
akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak
itulah kehidupan bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Demokrasi Terpimpin.
Peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi Indonesia pasca Pengakuan Kedaulatan
tersebut akan kita pelajari dalam bab ini.
A Proses
Kembali ke Negara Kesatuan RI (NKRI)
Seperti telah kalian pelajari pada bab II bahwa
dengan melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya bangsa Indonesia
memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Penandatanganan pengakuan
kedaulatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan
diakuinya kedaulatan Indonesia ini maka bentuk negara Indonesia adalah menjadi
negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Undang –
Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan adalah Undang- Undang Dasar RIS.
Tentunya kalian masih ingat bahwa salah satu hasil Konferensi Meja Bundar
adalah bahwa Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Selanjutnya setelah KMB kemudian dilaksanakan pengakuan kedaulatan dari Belanda
kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Berdasarkan UUD RIS bentuk negara
kita adalah federal, yang terdiri dari tujuh negara bagian dan sembilan daerah
otonom. Adapun tujuh negara bagian RIS tersebut adalah :
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
Sedangkan
kesembilan daerah otonom itu adalah:
(1) Riau, (6) Banjar,
(2) Bangka, (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung, (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat, (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
(1) Riau, (6) Banjar,
(2) Bangka, (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung, (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat, (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
Negara-negara bagian di atas
serta daerah- daerah otonom merupakan negara boneka ( tidak dapat bergerak
sendiri) adalah ciptaan Belanda. Negara- negara boneka ini dimaksudkan akan
dikendalikan Belanda yang bertujuan untuk mengalahkan RI yang juga ikut di
dalamnya. Bentuk negara federalis bukanlah bentuk negara yang dicita- citakan
oleh bangsa Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita- cita Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS berusia kira- kira enam bulan, suara-
suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 menghendaki
adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan
bangsa Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan golongan mereka yang setuju dengan bentuk negara Serikat (golongan
federalis) semakin terlihat kejahatannya ketika Sultan Hamid dari Kalimantan
Barat yang menjabat sebagai Menteri Negara bersekongkol dengan Westerling.
Raymond Westerling melakukan aksi pembantaian terhadap ribuan rakyat di
Sulawesi Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
Petualangan APRA (Angkatan Perang
Ratu Adil) di Bandung pada bulan Januari 1950 menjadikan rakyat semakin tidak
puas terhadap kondisi pemerintahan RIS. Oleh karena itu rakyat Bandung menuntut
dibubarkannya pemerintahan negara Pasundan untuk menggabungkan diri dengan RI.
Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan undang-undang darurat yang
isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada Komisaris Negara
(RIS), Sewaka. Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini kemudian diikuti oleh
Sumatera Selatan dan negara-negara bagian lain. Negara-negara bagian lain yang
menyusul itu cenderung untuk bergabung dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal
empat negara bagian saja dalam RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur,
Negara Indonesia Timur, dan RI setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21
April 1950 Presiden Sukawati dari NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung
dengan RI menjadi negara kesatuan. Melihat dukungan untuk kembali ke NKRI
semakin luas, maka diselenggarakanlah pertemuan antara Moh. Hatta dari RIS, Sukawati
dari Negara Indonesia Timur dan Mansur dari Negara Sumatera Timur. Akhirnya
pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS yang
juga mewakili NIT dan Sumatera Timur dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini
dicapai kesepakatan untuk kembali ke Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering
disebut dengan Piagam
Persetujuan,
yang isinya sebagai berikut:
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari
kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan
dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang- Undang Dasar
Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus
1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat
itulah Negara Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang
diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Jadi
berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan Sistem Kabinet Presidensiil.
B.
Pemilihan Umum I Tahun 1955 di Tingkat Pusat dan Daerah
Semenjak Indonesia menggunakan sistem Kabinet
Parlementer keadaan politik tidak stabil. Partai-partai politik tidak bekerja
untuk kepentingan rakyat akan tetapi hanya untuk kepentingan golongannya saja.
Wakil-wakil rakyat yang duduk di Parlemen merupakan wakil-wakil partai yang
saling bertentangan. Keadaan yang demikian rakyat menginginkan segera
dilaksanakan pemilihan umum. Dengan pemilihan umum diharapkan dapat terbentuk
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga dapat memperjuangkan aspirasi rakyat
sehingga terbentuk pemerintahan yang stabil. Pemilihan Umum merupakan program
pemerintah dari setiap kabinet, misalnya kabinet Alisastroamijoyo I bahkan
telah menetapkan tanggal pelaksanaan pemilu. Akan tetapi Kabinet Ali I tersebut
sudah jatuh sebelum melaksanakan Pemilihan Umum. Akhirnya pesta demokrasi
rakyat tersebut baru dapat dilaksanakan pada masa pemerintahan Kabinet
Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum Pusat dilaksanakan dalam dua gelombang,
yakni :
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
Suatu pesta demokrasi nasional
pertama kali yang diadakan sejak Indonesia merdeka itu dilakukan oleh lebih
dari 39 juta rakyat Indonesia. Mereka mendatangi tempat-tempat pemungutan suara
guna menyalurkan haknya sebagai pemilih. Dalam pelaksanakannya, Indonesia
dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2.139 kecamatan,
dan 43.429 desa. Dalam Pemilihan Umum tersebut diikuti oleh banyak partai
politik, organisasi, dan perorangan pun juga ikut, sehingga DPR terbagi dalam
banyak fraksi di antaranya keluar sebagai empat besar adalah : (1) Fraksi
Masyumi (60 anggota); (2) Fraksi PNI (58 anggota); (3) Fraksi NU (47 anggota);
(4) Fraksi PKI (32 anggota). Seluruh anggota DPR hasil Pemilu I tersebut
berjumlah 272 anggota, yaitu dengan perhitungan bahwa seorang anggota DPR
mewakili 300.000 orang penduduk. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542
orang. Pada tanggal 25 Maret 1956 DPR hasil pemilihan umum dilatik. Sedangkan
anggota konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956. Pemilihan Umum I
tahun 1955 berjalan secara demokratis, aman, dan tertib sehingga merupakan
suatu prestasi yang luar biasa di mana rakyat telah dapat menyalurkan haknya
tanpa adanya paksaan dan ancaman. Walaupun Pemilu berjalan sukses akan tetapi
hasil dari Pemilu tersebut belum dapat memenuhi harapan rakyat karena masing-
masing partai masih mengutamakan kepentingan partainya daripada untuk
kepentingan rakyat. Oleh karena itu pada waktu itu masih mengalami krisis
politik dan berakibat lahirnya Demokrasi Terpimpin.
C. Dekrit
Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkannya
Pada Pemilu I tahun 1955 rakyat
selain memilih anggota DPR juga memilih anggota badan Konstituante. Badan ini
bertugas menyusun Undang-Undang Dasar sebab ketika Indonesia kembali ke Negara
Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Sejak itu pula di negara kita diterapkan
Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Pertentangan antarpartai
politik seringkali terjadi. Situasi politik dalam negeri tidak stabil dan di
daerah-daerah mengalami kegoncangan karena berdirinya berbagai dewan, seperti
Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Banteng
di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat
di Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi gerakan yang ingin memisahkan diri.
Karena keadaan politik yang tidak stabil maka
Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang
terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
Partai-partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI
menolak konsepsi ini dan berpenadapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan
secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Karena keadaan politik
semakin hangat maka Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan Darurat Perang bagi
seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan di daerah kemudian memuncak dengan
pemberontakan PRRI dan Permesta. Setelah keadaan aman maka Konstituante mulai
bersidang untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante ini
berlangsung sampai beberapa kali yang memakan waktu kurang lebih tiga tahun,
yakni sejak sidang pertama di Bandung tanggal 10 November 1956 sampai akhir
tahun 1958. Akan tetapi sidang tersebut tidak membuahkan hasil yakni untuk
merumuskan Undang-Undang Dasar dan hanya merupakan perdebatan sengit.
Perdebatan-perdebatan itu semakin memuncak ketika
akan menetapkan dasar negara. Persoalan yang menjadi penyebabnya adalah adanya
dua kelompok yakni kelompok partai-partai Islam yang menghendaki dasar negara
Islam dan kelompok partai-partai non-Islam yang menghendaki dasar negara
Pancasila. Kelompok pendukung Pancasila mempunyai suara lebih besar daripada
golongan Islam akan tetapi belum mencapai mayoritas 2/3 suara untuk mengesahkan
suatu keputusan tentang Dasar Negara (pasal 137 UUD S 1950). Pada tanggal 22
April 1959 di hadapan Konstituante, Presiden Soekarno berpidato yang isinya
menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Pihak yang pro dan
militer mendesak kepada Presiden Soekarno untuk segera mengundangkan kembali
Undang-Undang Dasar 1945 melalui dekrit. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Sukarno menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat Indonesia. Adapun
isi Dekrit Presiden tersebut adalah:
1)
pembubaran Konstituante,
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
maka negara kita memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa
Indonesia dari ancaman perpecahan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5
Juli 1959 maka dibentuklah beberapa lembaga negara yakni: Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Dalam pidato
Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato yang terkenal dengan sebutan
“Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL) ini oleh DPAS dan MPRS
dijadikan sebagai Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Presiden
Soekarno bahwa inti dari Manipol ini adalah Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK.
Dengan demikian sejak dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bernegara ini
baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dalam bidang politik,
semua lembaga negara harus berintikan Nasakom yakni ada unsur Nasionalis,
Agama, dan Komunis. Dalam bidang ekonomi pemerintah menerapkan ekonomi
terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam bidang impor hanya dikuasai
orang- orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Sedangkan dalam
bidang sosial budaya, pemerintah melarang budaya-budaya yang berbau Barat dan
dianggap sebagai bentuk penjajahan baru atau Neo Kolonialis dan imperalisme
(Nekolim) sebab dalam hal ini pemerintah lebih condong ke Blok Timur.
D. Dampak
Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah
Sampai Awal Tahun 1960-an
Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27
Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia mengalami berbagai situasi sebagai
dampak dari keadaan politik nasional. Beberapa hal yang menjadi persoalan di
antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan pergolakan
sosial politik.
1.
Hubungan Pusat-Daerah
Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada
tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda
besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I yang merupakan pengalaman
awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib
bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik
hanya memikirkan kepentingan partainya. Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo
II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 berdasarkan perimbangan partai- partai
dalam Parlemen tidak berumur panjang karena mendapat oposisi dari daerah-
daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan
daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para
panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan yang berusaha
memisahkan diri (separatis) dari pemerintah pusat sehingga hubungan antara
pusat dengan daerah kurang harmonis. Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima
militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri
dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan
oposisi dari daerah yang guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah
pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan antara Pemerintah Pusat dan
beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan beberapa dewan
di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah
antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan cara musyawarah. Akan
tetapi, usaha- usaha musyawarah yang dilakukan pemerintah tidak dapat
menyelesaikan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada bulan
Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan
pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya
pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.
2.
Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis
Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok
nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai
politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan
hanya mementingkan golongannya sendiri. Pada saat itu kabinet yang berkuasa
silih berganti. Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah
kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet.
Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.
a.
Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
b.
Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
c.
Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
d.
Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Dengan sistem kabinet parlementer, kekuasaan
pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini
bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Jadi apabila
parlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah maka dapat menjatuhkannya. Pada
waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak
dapat menjalankan programnya. Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh
konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada tanggal 10
November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh
pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga seperti anggota-
anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari puluhan partai. Mereka
terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan kelompok
nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut ternyata tidak
pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang
Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini akhirnya mendorong
presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian persaingan antara kelompok agama
dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan
politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
3.
Pergolakan Sosial Politik
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan
menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda
perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal ini menimbulkan protes baik
secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat.
Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan
sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di
bumi Indonesia. Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri
Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat
Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi
protes ini akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha
pribumi.
Protes yang lain juga dilakukan oleh daerah-daerah
di luar Jawa dengan alasan pusat tidak memperhatikan daerah. Khususnya di
Sulawesi Utara dan Sumatera Utara pemerintah dianggap membiarkan
penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi penguasa-penguasa daerah. Beberapa
daerah di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas dengan alokasi biaya
pembangungan yang diterimanya dari pusat. Selain itu kelemahan pemerintah pusat
dalam menjalankan kebijakan politik di daerah-daerah terbukti tampilnya
perebutan kekuasaan di daerah oleh pihak militer. Menurut pandangan mereka
pemerintah pusat tidak cakap dalam memerhatikan kepentingan daerah, tidak adil
dalam pembagian pendapatan ekspor dan terlalu birokratis dalam menyelesaikan
sesuatu urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak. Kelemahan-kelemahan pusat
ini nantinya akan berakibat munculnyapemberontakan di daerah-daerah. Pergolakan
di daerah ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh
Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di daerah
Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 20 Desember 1956.
Gerakan ini selanjutnya diikuti oleh terbentuknya Dewan Gajah, dan Dewan
Manguni. Gerakan pengambilalihan kekuasaan ini selanjutnya pecah menjadi pemberontakan
terbuka pada bulan Februari 1958 yang dikenal dengan pemberontakan
“PRRI-Permesta.” Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan
yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut
sebagai berikut.
A. Pemberontakan
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2
November 1949 adalah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI
sebagai intinya. Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan
ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara
golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian
dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan. Pada tanggal 23
Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan ultimatum kepada pemerintah
RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan
menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA
yang menyerang kota Bandung gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan
terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke kota Bandung, tentara APRA juga
melakukan perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan
APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI
berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke
luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda
.
v Latar belakang APRA:
a. Tentara APRA sesungguhnya ingin menjadi tentara Pasundan dan menolak TNI,
b. Saat Negara RIS dibagi menjadi beberapa bagian (termasuk Pasundan yang ingin kembali ke NKRI) ada beberapa kelompok yang menamai diri sebagai APRA dan mereka ingin bertanggung jawab atas kemanan Pasundan atau ingin menjadi tentara nasional Pasundan,
c. Mempertahankan NIT dan tuntutan pada RIS.
v Dipimpin oleh Sultan Hamid kedua (ketua BFO) dengan latar mempertahankan Pasundan
v Terjadi pada 23 – 24 Januari 1950 di Bandung.
v Latar belakang APRA:
a. Tentara APRA sesungguhnya ingin menjadi tentara Pasundan dan menolak TNI,
b. Saat Negara RIS dibagi menjadi beberapa bagian (termasuk Pasundan yang ingin kembali ke NKRI) ada beberapa kelompok yang menamai diri sebagai APRA dan mereka ingin bertanggung jawab atas kemanan Pasundan atau ingin menjadi tentara nasional Pasundan,
c. Mempertahankan NIT dan tuntutan pada RIS.
v Dipimpin oleh Sultan Hamid kedua (ketua BFO) dengan latar mempertahankan Pasundan
v Terjadi pada 23 – 24 Januari 1950 di Bandung.
B.
Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul
pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah
pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap
pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah
RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
v Latar belakang :
Mempertahankan NIT
v Penyelesaian :
a. Tahap 1, Andi Azis diminta ke Jakarta untuk diadili, namun tidak datang,
b. Tahap 2, Diberi alternatif, menyerah dan bila tetap bertahan di Sulawesi maka pasukannya akan dimusnahkan.
v Penyelesaian :
a. Tahap 1, Andi Azis diminta ke Jakarta untuk diadili, namun tidak datang,
b. Tahap 2, Diberi alternatif, menyerah dan bila tetap bertahan di Sulawesi maka pasukannya akan dimusnahkan.
Andi Aziz merupakan seorang mantan perwira KNIL. Pada tanggal 30 Maret
1950, ia bersama dengan pasukan KNIL di bawah komandonya menggabungkan diri ke
dalam APRIS di hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara
dan Teritorium Indonesia Timur.Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Aziz
ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi
Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi karena adanya demonstrasi
dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka mendesak NIT segera
menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi demonstrasi dari golongan
yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan ini menyebabkan muncul
kekacauan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan maka
pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1 batalion TNI dari Jawa.
Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok masyarakat
pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan membentuk
“Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap masalah
keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada 5 April 1950, pasukan
Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil menguasainya bahkan
Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari (Perdana Mentri NIT)
mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz dan diganti Ir.
Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati
mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk mengatasi pemberontakan
tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950 mengeluarkan perintah bahwa dalam
waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke Jakarta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat pemberontakan
diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat
yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan
yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh
Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi Aziz terlambat melapor sehingga ia
ditangkap dan diadili sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang
terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950 pasukan ini
berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.
Tanggal 26 April 1950, pasukan
ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di Sulawesi Selatan. Keamanan
yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama karena keberadaan
pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari
Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan dengan pasukan
APRIS.
Pertempuran antara APRIS
dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada waktu itu berada
dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur pasukan lawan. Pasukan
APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL. 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL
meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah sangat
kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan
Mayor Jendral Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya kedua belah pihak setuju untuk
dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL harus
meninggalkan Makassar.
Latar belakang timbulnya
pemberontakan Andi Aziz adalah sebagai berikut :
1.Timbulnya
pertentangan pendapat mengenai peleburan Negara bagian Indonesia Timur (NIT) ke
dalam negara RI. Ada pihak yang tetap menginginkan NIT tetap dipertahankan dan
tetap merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan
di satu pihak lagi menginginkan NIT melebur ke negara Republik Indonesia yang
berkedudukan di Yogyakarta.
2.
Ada perasaan curiga di kalangan bekas anggota – anggota KNIL yang disalurkan ke
dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Setikat (APRIS)/TNI. Anggota – anggota
KNIL beranggapan bahwa pemerintah akan menganaktirikannya, sedangkan pada pihak
TNI sendiri ada semacam kecanggungan untuk bekerja sama dengan bekas lawan
mereka selama perang kemerdekaan.
Kedua hal tersebut mendorong lahirnya pemberontakan
bersenjata yang dipimpin oleh bekas tentara KNIL, Andi Aziz, pada tanggal 5
April 1950. Padahal sebelumnya, pemerintah telah mengangkat Andi Aziz menjadi
Kapten dalam suatu acara pelantikan penerimaan bekas anggota KNIL ke dalam
tubuh APRIS pada tanggal 30 Maret 1950. Namun, karena Kapten Andi Aziz termakan
hasutan Mr. Dr. Soumokil yang menginginkan tetap dipertahankannya Negara
Indonesia Timur (NIT), akhirnya ia mengerahkan anak buahnya untuk menyerag
Markas Panglima Territorium. Ia bersama anak buahnya melucuti senjata TNI yang
menjaga daerah tersebut. Di samping itu, Kapten Andi Abdul Aziz berusaha
menghalang – halangi pendaratan pasukan TNI ke Makassar karena dianggapnya
bahwa tanggung jawab Makassar harus berada di tangan bekas tentara KNIL.
Adapun faktor yang
menyebabkan pemberontakan adalah :
1. Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung
jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur.
- Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI
- Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Dengan anggapan
sudah merasa kuat pada tanggal 5 April 1950, setelah menangkap dan menawan
Letnan kolonel Mokoginta, Panglima Territorium Sulawesi, Kapten Andi Aziz
mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah pusat di Jakarta.
Adapun isi pernyataan itu adalah sebagai
berikut :
1. Negara
Indonesia Timur harus tetap dipertahankan agar tetap berdiri menjadi bagian
dari RIS.
2. Tanggung
jawab keselamatan daerah NIT agar diserahkan kepada pasukan KNIL yang telah
masuk menjadi anggota APRIS. TNI yang bukan berasal dari KNIL tidak perlu turut
campur.
3. Presiden
Soekarno dan Perdana Menteri Hatta supaya tidak mengizinkan NIT dibubarkan dan
bersatu dengan Republik Indonesia.
Karena tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah
pusat bertindak tegas. Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa
dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasukannya harus dikonsinyasi,senjata-senjata
dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan
Worang kemudian disusul oleh pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E
Kawilarang pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu
batalion di antaranya adalah Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
C. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25
April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL
(Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS
(Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara
Indonesia Timur. Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba
menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr.
Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah
segera mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang.
Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh
pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah
seorang pahlawan ketika memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel
Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan
Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah. Setelah kota Ambon jatuh ke tangan
pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk
beberapa tahun lamanya melakukan pengacauan.
v Latar belakang :
Mempertahankan Maluku Selatanv Dipimpin oleh : Dr. Soumakil (mantan Jaksa Agung NIT)
v Dalam pertempuran Niew Victoria, gugurlah Kolonel Slamet Riyadi
Bahwa perjuangan kemerdekaan Maluku lewat
proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) itu tidak akan merugikan hak hidup
bangsa manapun juga, termasuk pemerintah Belanda dan pemerintah RI... (Ketua
Eksekutif "Missi Rakyat Maluku", D Sahalessy dalam suratnya kepada BJ
Habibie dan Jenderal Wiranto).KUTIPAN pernyataan di atas, merupakan materi
surat resmi yang dikirim dari kantor 'pemerintahan pengasingan RMS' di De
Klenckestraat 42, 9404 KW Assen-The Netherlands (telp 31592 352141), tertanggal
15 November 1998. Tembusan surat tersebut dikirimkan pula kepada Komnas HAM di
Jakarta, Kementerian Luar Negeri Belanda di Den Haag, EIR-International di New
York dan sejumlah instansi internasional terkait serta dewan mahasiswa di
Indonesia. Dokumen surat -- yang diungkap pula oleh mantan Kastaf Kodam
VIII/Trikora Jayapura, Brigjen TNI (Purn) Rustam Kastor -- ini, secara jelas
dan 'jantan' menyatakan keinginannya untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Misalnya, di awal suratnya, D Sahalessy menulis sbb:...Atas
kewajiban kami selaku Ketua Pelaksana Missi Rakyat Maluku dan Pejuang
Kemerdekaan yang mendambakan Kemerdekaan dan Kedaulatan Nusa dan Bangsa Maluku,
kami hadapkan 'Surat Pergembalaan' ini kehadapan Bapak-bapak.
Demi ketergantungan hidup manusia kepada Tanah
Airnya dan Masyarakat Adatnya masing-masing, maka Pancasila dan Undang-undang
Dasar '45, antara lain menegaskan bahwa "kemerdekaan adalah hak setiap
bangsa, maka setiap sistem penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi,
karena hal itu tidak sesuai dengan keadilan dan prikemanusiaan". Atas pernyataan
ini, kami anjurkan agar Bapak-bapak menggarisbawahi
"kekeliruan-kekeliruan" yang dilakukan Pemerintah RI dan ABRI di
Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa sejak Juni 1950 hingga detik saat
ini.Yang cukup menarik untuk dicermati, surat yang disampaikan kepada
pemerintah RI setahun sebelum terjadinya aksi pembantaian terhadap umat Islam
di Kota Ambon, Idul Fitri, 19 Januari 1999 itu, juga mengajukan lima tuntutan
yang mesti dipenuhi, yakni:
- Agar tindakan-tindakan eksploitasi dan Jawanisasi di Maluku dan lain-lain kepulauan di luar tanah Jawa dihentikan,
- Agar tulang-belulang dari putra-putri Maluku yang terbunuh selama invasi militer RI di Maluku (1950-1967) itu dapat dikumpulkan untuk dimakamkan dalam suatu Taman Makam Pahlawan,
- Agar tulang-belulang dari Mr. Doktor Christian Soumokil (Bapak Kebangsaan dan Pahlawan Keadilan Maluku) yang dibunuh secara rahasia oleh ABRI di pengasingan pada tanggal 12 April 1966 itu dapatlah dikumpulkan untuk dimakamkan di Maluku Tanah Air kami,
- Agar semua usaha menuntut kemerdekaan Maluku lewat konstitusi Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku janganlah ditindas atau dapatlah dibantu oleh ABRI,
- Agar tindakan-tindakan polarisasi yang dilakukan lewat intelek Maluku golongan aparatip yang memfrustasikan perjuangan kemerdekaan Maluku di dalam maupun di luar negeri itu, dihentikan.
Selain surat tersebut, bukti-bukti awal yang
menunjukkan terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku, juga dapat diketahui
dari dokumen 'bocoran'-nya -- faksi lain di RMS -- yang menamakan dirinya
sebagai "Presidium Sementara RMS Ambon."Pada tangal 14 November 1998,
presidium tersebut mengeluarkan "Surat Perintah Tugas" No.
01/PS.04.1/XI/98, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
Presidium, masing-masing bernama O. Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa. Isi
surat tugas berupa perintah kepada D Pattiwaelappia (jabatan Ketua Komisi
Bidang Komunikasi), A Pattiradjawane (Ketua Komisi Bidang Hukum) dan S. Saiya
(Staf Komisi Bidang Komunikasi), untuk melaksanakan missi perjuangan RSM.
Kepada
ketiga orang tersebut, diberi tugas dan wewenang sbb:
- Melakukan upaya-upaya diplomasi dan pendekatan dengan warga masyarakat Maluku di perantauan dalam rangka konsolidasi kekuatan dan penggalangan persatuan,
- Mengadakan koordinasi dengan tokoh-tokoh intelektual tertentu di kota atau daerah tujuan untuk membentuk perwakilan presidium atau pun organisasi perjuangan yang memungkinkan sesuai dengan kondisi setempat,
- Berusaha menghimpun dana secara sukarela dari warga setempat untuk mendukung kebutuhan pembiayaan program perjuangan,
- Melaporkan hasil pekerjaan secara berkala guna keperluan pengendalian dan evaluasi.
Surat tugas juga menyebutkan daerah tujuan yakni
Jakarta, Surabaya, dan kota-kota tertentu di Pulau Jawa. Juga, ditentukan soal
keberangkatannya yakni mulai 16 November s.d. media Desember 1998.Bersamaan
dengan keluarnya surat tugas, Presidium Sementara RMS di Ambon membuat pula
surat pengantar bernomer 02/PS.05.1/XI/98, perihal "Permohonan
Bantuan", dilengkapi lampiran sebanyak sepuluh daftar. Isi surat diawali
dengan kalimat antara lain:Pertama-tama, terimalah salam kebangsaan dan pekik
perjuangan kita "Mena Moeria".
Selanjutnya,
ditulis:Kami merasa mendapat kehormatan untuk menjumpai Bapak, Ibu dan semua
saudara segandong yang sementara ini berada di Tanah Perantauan, untuk
menyampaikan perkembangan terakhir yang sedang terjadi di kalangan rakyat dan
masyarakat Maluku dewasa ini.
Secara singkat boleh kami katakan bahwa tingkat
kesabaran dan daya tahan rakyat dalam menghadapi kondisi perekonomian maupun
situasi politik yang dikendalikan dari Pusat (Jakarta), sudah berada pada titik
yang sangat rawan. Bahwa demi untuk mencegah terjadinya tindakan lepas kontrol
yang dapat membahayakan diri, keluarga maupun masyarakat banyak, kami terpaksa
telah mengambil tanggungjawab kolektif tadi dan menyusun sebuah program
perjuangan sesuai dengan kemampuan kami yang sangat terbatas.Dalam rangka
itulah kami sungguh memerlukan support, baik moral maupun material terutama
dari Bapak/Ibu yang memiliki kelebihan berkat Tuhan. Demikian dengan susah
payah kami telah mengutus tiga orang teman ini, sambil mengharapkan uluran
tangan Bapak/Ibu semua. Kami percaya bahwa semua saudara segandong di rantau
tidak akan sampai hati membiarkan kami berjalan sendirian sebab 'potong di kuku
rasa di daging'. Semoga Tuhan tetap menjaga dan memelihara kita semua dengan
kelimpahan berkat Sorgawi. Amatooo...DARI Ambon, Presidium Sementara Republik
Maluku Selatan (RMS) -- pada 14 November 1998 -- mengeluarkan 'Seruan' yang
ditujukan kepada warga Maluku di Belanda.Seruan yang ditandatangani oleh Ketua
Umum dan Sekjen Presidium Sementara RMS, masing-masing O Patarima, SH dan Drs.
Ch. Patasiwa itu, diawali dengan kalimat:
"Kepada
Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, putra-putri Maluku yang sementara
berdiam di negeri Belanda."
- Terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria",
- Dengarlah seruan kami dari jauh, dari Maluku, Tanah Tumpah Darah Kita:
- Saat ini, rakyat Maluku di Tanah Air sudah tidak sabar lagi untuk merdeka,
- Kebencian rakyat terhadap Pemerintah Indonesia sudah mencapai puncaknya,
- Untuk sementara, kami harus mengambil tanggungjawab memimpin dan mengarahkan perjuangan di Tanah Air agar supaya tidak berjalan sendiri-sendiri, yang nanti bisa menyusahkan banyak orang,
- Kami sangat mengharapkan dukungan dan bantuan saudara-saudara dari negeri Belanda dalam menyokong perjuangan ini agar kiranya dapat berjalan lancar dan sukses dalam waktu yang tidak terlalu lama,
- Sesungguhnya perjuangan ini adalah tanggungjawab setiap anak Maluku, di mana pun berada. Karena itu, janganlah biarkan kami sendiri,
- Kami percaya bahwa nasib masa depan anak cucu kita ada di Tanah Air Maluku tercinta.
Pada
akhir "Seruan", ditulisnya kalimat sbb:
"Biar
Hujan Emas di Negeri Orang, Tidak Sama Hujan Batu di Negeri Sendiri."
Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan perlindungan kepada kita, sampai
bertemu nanti di Tanah Air.
Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan
terjadinya gerakan pemberontakan RMS pada akhir tahun 1998, juga ditemui oleh
pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag. Dalam laporan
khususnya yang disampaikan oleh Kantor Atase Pertahanan (Athan) KBRI Den Haag
tertanggal 18 Desember 1998 -- ditandatangani Athan KBRI, Kol. Laut (E) Ir.
Wahyudi Widajanto, MSc -- diungkapkan antara lain: Adanya informasi ihwal mulai
tumbuhnya "embrio" kelompok RMS di Indonesia, khususnya di
Jakarta.Selain itu, juga diungkap: Berita yang dimuat oleh Harian Belanda
"Rotterdam Dagbland" (Selasa, 11 Januari 2000) yang intinya
menyebutkan bahwa Pemerintah RMS di pengasingan mempersiapkan diri untuk
mengambil alih kekuasaan di daerah Maluku Selatan. Pernyataan ini disampaikan
oleh Presiden RMS, F.LJ Tutuhatuwena. Dia mengatakan, bahwa upaya yang ditempuh
adalah dengan membentuk suatu struktur organisasi yang dapat mengambil alih
kekuasaan dari Jakarta.Diinformasikan pula bahwa saat ini di Maluku telah
berada beberapa puluh penganut dan simpatisan RMS yang diharapkan dapat
merealisasikan cita-cita mereka. Skenario yang mereka inginkan adalah
pengambilalihan kekuasaan tanpa kekerasan dengan memanfaatkan krisis ekonomi
dan politik di dalam negeri saat ini.
Untuk itu, telah dibentuk suatu kabinet bayangan
dengan tugas menjaga agar kehidupan masyarakat Maluku terus berjalan normal
apabila pemerintah di Jakarta jatuh. Tugas berikutnya adalah melucuti dan
membubarkan tentara Indonesia yang masih berada di Maluku.Hingga kini bantuan
dari masyarakat Maluku di Belanda adalah bantuan nasihat dan keuangan, dan
belum ada permintaan bantuan senjata dari Maluku. Selanjutnya, pada 19 Desember
1998 yang akan datang di Barneveld, Belanda akan diselenggarakan pertemuan
antara RMS dengan Badan Persatuan Maluku sebagai pendukung RMS dengan tujuan
untuk membicarakan rencana aktivitas apa yang akan ditempuh selanjutnya.DALAM
kaitannya dengan SK Menkeh RI No. M. 01.iZ.01.02 tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Pembebasan Keharusan Memiliki Visa Bagi Wisatawan Asing, pihak Athan KBRI Den
Haag menganalisisnya: sebagai sesuatu yang dimanfaatkan oleh kelompok RMS untuk
menyusupkan kaki tangannya -- yang notabene mereka kemungkinan besar tidak
terdaftar sebagai anggota kelompok RMS -- ke Indonesia untuk berkunjung.
Selanjutnya, mereka itu "menghilang" di tanah air dengan memanfaatkan
kelemahan pengawasan kita di tanah air. Orang-orang inilah yang kemungkinan
besar merupakan pioner tumbuhnya kembali kelompok RMS di Indonesia.
Athan
KBRI Den Haag juga menyimpulkan:
Kelompok
RMS secara jelas telah semakin serius, terorganisir serta terencana dalam
upaya-upaya mewujudkan cita-citanya dengan memanfaatkan situasi krisis ekonomi
dan politik di dalam negeri akhir-akhir ini.
Pergerakan
simpatisan dan aktivis RMS di Den Haag ini benar-benar memperoleh perhatian
yang optimal dari KBRI Den Haag. Dalam kawat khususnya -- bernomer
147/div.12/98 -- yang dikirimkan kepada Menlu, Menko Polkam, Mendagri,
Menhankam/Pangab dan Menkeh, KBRI Den Haag melaporkan perihal pokok-pokok hasil
pertemuan RMS di Barneveld pada 19 Desember 1998.
Disebutkannya:
- pertemuan dihadiri oleh 8 organisasi masyarakat Maluku termasuk 'badan persatuan' yang berhaluan keras dan merupakan pendukung utama RMS.
- pertemuan telah membentuk suatu struktur organisasi yang dinamakan 'Kongres Nasional Maluku' dengan tujuan utama mendukung dan memiliki tugas politik dan peralihan kekuasaan.
- "Pemerintahan RMS" dalam pengasingan akan memberikan senjata kepada organisasi-organisasi di Maluku yang diharapkan akan ikut serta dalam pengambilalihan kekuasaan apabila Pemerintah Indonesia jatuh.
- Menteri Urusan Umum RMS, J.W Wattilete yang diharapkan akan menggantikan "Presiden RMS" Tutuhatunewa kepada pers mengatakan bahwa perebutan kekuasaan dengan senjata merupakan jalan terakhir kalau dengan cara damai tidak berhasil.
- Kalau kelompok-kelompok di Maluku minta bantuan senjata akan ditanggapi dengan serius.
- Kesempatan semacam ini tidak akan terulang lagi dan harus dimanfaatkan.
SOAL
keseriusan para aktivis dan simpatisan RMS mewujudkan cita-citanya, sebenarnya
kian jelas dengan terjadinya berbagai peristiwa pancingan yang dilakukan dengan
cara mengusir suku Bugis Buton Makassar (BBM) yang sudah hidup puluhan tahun di
Ambon dan sekitarnya.
Hal itu
terjadi pada medio November 1998 -- atau satu bulan sebelum 19 Januari 1999
(Idul Fitri Berdarah) -- di Kampung Hative Besar Ambon. Di basis pemberontak
RMS itu, ratusan orang Islam yang berlatarbelakang BBM diusir, dibunuh dan
seluruh rumahnya dibakar habis.
Di
tengah-tengah aksi penyerangan tersebut, umat Islam menemukan sejumlah dokumen
pemberontakan RMS. Sayangnya, dokumen diserahkan begitu saja oleh umat Islam
kepada aparat keamanan, tanpa sempat terlebih dulu mem-foto-copy.
Demikian
halnya, dalam setiap peristiwa pertempuran antara pemberontak RMS dengan
masyarakat setempat, di antara mereka kerapkali meneriakkan yel-yel seperti
"Hidup RMS", "Hidup Israel", "Anda Memasuki Wilayah
RMS-Israel", atau salam kebangsaan RMS yang berbunyi "Mena Moeria
Menang".
Jauh-jauh hari sebelum itu, sebenarnya pihak
berwajib di Ambon sudah "mengendus" gerakan pemberontak RMS. Pada
tahun 1989, Korem 174/Patimura -- yang komandannya waktu itu adalah Kol. Inf.
Rustam Kastor -- berhasil membongkar jaringan organisasi RMS di Kota Ambon yang
mempunyai rencana besar. Antara lain adanya rencana membangun kekuatan
bersenjata di Pulau Seram.Menurut Rustam Kastor, seorang mantan perwira menengah
TNI AD, yakni Letkol Inf (Purn) Ony Manuhutu (Jakarta) dilibatkan untuk
menuntaskan rencana sekaligus memimpin kekuatan bersenjata di lapangan. Dalam
kaitan ini, gudang senjata TNI milik Lantamal di Ambon siap diserbu dan
dibongkar untuk diambil senjata serta amunisinya. Untuk itu, sudah disiapkan
dukungan dari seorang bintara penjaga gudang amunisi tersebut.Persiapan
pemberontakan juga tampak dari ditemukannya senapan jenis karaben beserta
sejumlah amunisi di sebuah gereja tua pada benteng Amsterdam, di Desa Hila
Kaitetu. Kepada penulis yang mengunjungi lokasi tersebut (Maret 1999), sejumlah
saksi mata mengatakan, penemuan itu sebenarnya tak diduga tatkala terjadi
bentrokan antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat.Usaha penggalanan
dana dan senjata untuk pemberontakan RMS, juga diakui oleh Presiden RMS di
pengasingan yaitu Dokter Tutuhatunewa (76). Dia mengakui mengucurkan dana
perang ke Maluku. Meski tak bersedia menyebut jumlah dana yang disampaikannya
ke Ambon-Maluku, tapi dana itu sudah diserahkan kepada kelompok tertentu (Tempo
edisi 26 Desember 1999).
Selain itu, Tempo juga menyebutkan pada Agustus
1999 aparat keamanan menemukan uang sejumlah Rp 500 juta dari lima penumpang
Kapal Bukit Siguntang yang berlabuh di Pelabuhan Ambon. Uang tersebut dikemas
dalam ratusan amplop dengan tertulis nama organisasi "Satu Bantu Satu,
Maluku-Netherland". Menurut keterangan Imam Besar Mesjid Al Fatah Ambon,
KH Abdul Aziz Arby, Lc., organisasi tersebut diduga punya hubungan dengan
sebuah organisasi di daerah Ciledug, Jakarta.Sejumlah nara sumber penulis di
Ambon dan Maluku Utara menyebutkan, gerakan RMS diduga kuat memperoleh dukungan
dari pihak Yahudi Israel. Disebutkannya, dalam internet beberapa waktu lalu,
sempat ada situs RMS yang menampilkan artikel terbitan Israel yakni United
Israel Bulletin (UIB). Buletin itu mengungkapkan harapan RMS untuk mendapat
dukungan dari Israel.Koresponden UIB di PBB, David Horowits -- dalam terbitan
musim panas 1997 -- menulis: mayoritas pendukung RMS memang dekat dengan Yahudi-Israel.
Selama beberapa kali peringatan hari kemerdekaan RMS di Maluku, bendera Israel
bersama emblem AS dan Belanda dipadukan dengan emblem RMS.RMS juga punya
hubungan dengan gerakan serupa di Timtim. Buktinya, di situs Djangan Lupa
Maluku: www.dlm.org. dapat dijumpai naskah proklamasi RMS yang dibacakan pada
tahun 1950 dan ditandatangani JH Manuhutu serta A Wirisal.Salah satu berita yang menarik
yang dirilis UIB -- selain tentang persahabatan RMS dan Israel -- juga artikel
itu mengungkapkan hubungan antara RMS dan pergerakan di Timtim yang dipimpin
Jose Ramos Horta. Menurut David Horowits, ketika Horta menerima Nobel, saat itu
salah satu menteri RMS, Edwin Matahelumual mengirim surat kepada Horta.
Pada harian De Volkskrant (edisi 12 Januari 2000)
dilaporkan di halaman depan, RMS mengumpulkan dana dari orang-orang Maluku di
Belanda. Dana itu untuk membeli senjata guna membantu "saudara-saudara
Kristen" di Maluku.
Melalui
jaringan internasional, tulis harian De Volkskrant, dana yang terkumpul
tersebut akan dibelikan senjata yang selanjutnya dikirim ke Maluku Tengah
melalui Filipina Selatan.Harian Brabants Dagblad (edisi 17 Desember 1999)
memberitakan pertemuan lima wakil pemerintahan RMS di pengasingan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid. Mengutip ketua delegasi, Otto Matulessy, harian itu
menyatakan, Presiden Abdurrahman Wahid menghendaki partisipasi masyarakat
Maluku di Belanda, terutama pemerintah pengasingan RMS, untuk membantu
membangun Maluku.Kita tentunya menjadi 'bingung' mengetahui sikap Abdurrahman
Wahid yang menerima perwakilan RMS tersebut. Ya, sama 'bingung'-nya kita dengan
tidak adanya pernyataan resmi dari pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati
untuk menyebutkan ihwal terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku. Bukankah
fakta-fakta sudah jelas dan bukti-bukti awal sudah ada yang bisa disimpulkan
perihal terjadinya suatu pemberontakan RMS?Sikap pemerintah dalam kasus
Ambon-Maluku ini benar-benar "aneh bin ajaib" sekaligus
diskriminatif. Ketika terjadi kasus peledakan mesjid Istiqlal dan terungkapnya
kasus kelompok AMIN di Bogor, pemerintah begitu mudahnya menyatakan ada gerakan
untuk mendirikan negara Islam sekaligus mengganti dasar negara Pancasila.
Padahal bukti-buktinya tidak ada.Sedangkan dalam kasus Ambon-Maluku, pemerintah
"diam seribu bahasa". Bahkan umat Islam yang melakukan penumpasan
terhadap para pemberontak RMS, justru disalahkan. Laporan-laporan temuan
dokumen pemberontakan RMS -- baik yang disampaikan umat Islam maupun aparat
keamanan level lapangan -- ternyata tidak digubris.
Bahkan opini yang kemudian dilontarkan serta
ditumbuhsuburkan ke publik adalah rumor tentang adanya campur tangan
"Cendana" beserta kroni-kroninya, oknum TNI/Polri, dan kalangan
status quo.Para pengamat yang semestinya berpikir objektif dan proporsional,
ternyata tak jauh berbeda dengan perilaku elit politik. Mereka menyoroti
persoalan Ambon-Maluku dari perspektif rumors. Kalaupun ada, sekadar
menengoknya dari segi sosiologi, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik
seperti rebutan jabatan di struktur pemerintahan.Para pengamat, boleh jadi,
bisa mengungkapkan analisisnya -- hingga mulutnya berbusa -- namun sebenarnya
yang terjadi di lapangan tidaklah semacam itu. Substansi kualitatif analisis
dan asumsi pengamat seperti soal kesenjangan sosial ekonomi, itu pada dasarnya
hanyalah 'muatan' yang menumpangi akar masalah sesungguhnya dalam kasus
Ambon-Maluku.Ya, tak jauh bedanya dengan asumsi kasus pembantaian terhadap umat
Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Saat itu bahkan hingga
kini, di tengah masyarakat 'tersebar' asumsi adanya kesengajaan oknum militer
untuk mengacaukan situasi, lalu ketika masyarakatnya mengungsi, maka mereka pun
melakukan penjarahan seperti kayu ebonit atau kayu hitam. Padahal kenyataannya
-- berdasarkan fakta di lapangan -- tidaklah demikian. Jika pun ada yang
berbuat semacam itu, sekadar oknum dan jumlahnya pun sedikit.Yang semestinya
dilihat oleh para pengamat, elit politik atau pejabat pemerintahan adalah fakta
di lapangan -- alias di tengah konflik tersebut -- yakni adanya 'benang merah'
pemberontakan RMS, baik di Ambon, Tual (Maluku Tenggara), Maluku Utara, dan
Poso.Adanya rencana dan realisasi sistematis penyebaran "virus
pemberontakan RMS", diakui pula oleh Ketua Forum Komunikasi Kerukunan
Antar Umat Beragama Maluku Utara, Abdul Gani, MA.
Dikemukakannya, jauh-jauh hari sebelum terjadinya
kasus pembantaian terhadap umat Islam oleh komunitas pemberontak RMS di Tual,
Ternate, dan Halmahera (Maluku Utara), sejumlah tokoh Islam di MUI sudah
mengingatkan masyarakat setempat karena saat itu, ada beberapa fenomena 'aneh
tapi nyata' yang berkaitan dengan 'pemanasan' situasi di tengah masyarakat yang
sebelumnya sudah rukun.Di Tual (Maluku Tenggara), Halmahera dan Ternate
(Maluku Utara), umpamanya, mulai didatangi para pengungsi asal Ambon. Di antara
pengungsi itu, ternyata ada sejumlah provokator dari kalangan RMS. Mereka
menyebar isu adu domba dan menumbuhsuburkan fitnah kepada umat Islam, yang
sebenarnya masih ada hubungan darah seperti yang terjadi di daerah Halmahera
(Tobelo, Galela, Kao, Malifut, Ternate, dan sekitarnya). Nyatanya, benar,
beberapa saat kemudian terjadilah aksi kerusuhan dan pembantaian terhadap umat
Islam.Sebaliknya, ada fakta yang menunjukkan tidak semua daerah di Ambon bisa
terkena "virus pemberontakan RMS". Ini bisa disaksikan langsung di
daerah Wayame -- dekat Poka (tempat pembantaian terhadap umat Islam pada Juli
1999) -- di lokasi itu hidup rukun umat Islam dan umat Kristen. Hingga kini
mereka tetap akrab, tidak saling menyerang. Bila malam hari, mereka sama-sama
berjaga-jaga di pos keamanan lingkungan (kamling).Di tengah malam yang cukup
dingin itu, terkadang di pos-pos kamling mereka menyanyikan lagu-lagu pujian
agamanya, sedangkan umat Islamnya 'tenang-tenang' saja bersenandung shalawat
badar atau nasyid islami. Tak ada pertengkaran. Bahkan di daerah itu ada sebuah
mesjid dan beberapa gereja, yang masih utuh. Bila hari Jumat atau Minggu tiba,
warga setempat pergi ke mesjid dan yang lainnya pergi ke gereja.Mengapa mereka
bisa rukun? Menurut tokoh Islam setempat -- yang juga anggota DPRD Maluku --
ustadz H Muhammad Kasuba, MA, di Wayame ada sejumlah tokoh Kristen yang dikenal
sebagai pendeta. Mereka membuat kesepakatan dan menyatakan tidak mau melakukan
pembantaian terhadap umat Islam -- yang notabene jumlahnya sangat minim di
daerah terebut -- karena menyadari kekeliruannya bila mengikuti ajakan para
provokator pemberontakan RMS. Meski berkali-kali dibujuk rayu, para tokoh
Kristen dan warga Kristen di daerah itu menolak bergabung dengan para
pemberontak RMS.Fakta-fakta lapangan yang tak terbantahkan ini, ironisnya
dianggap 'angin lewat' saja. Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan
terjadinya pemberontakan RMS, sama sekali tidak diperhitungkan dan di-cuekin
terus-terusan oleh pemerintah.Hampir semua pejabat pemerintah RI sekarang
menderita 'sariawan' stadium berat, sehingga tidak bisa membuat pernyataan
jujur bahwa di Ambon dan Maluku telah terjadi tindakan subversif atau makar
dari sejumlah orang yang ingin mendirikan Republik Maluku Sarani atau Republik Maluku
Selatan (RMS).Sungguh, dunia memang -- boleh saja -- terbalik, namun kebenaran
tidak bisa dibalikkan. Para elit politik boleh berakrobat membalikan akar
masalah di Ambon-Maluku, tapi tetap saja 'masalahnya' tak akan
selesai.Karenanya, cepat atau lambat, kebenaran terjadinya pemberontakan RMS di
Ambon-Maluku akan terungkap. Ya, setidaknya bila pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) kelak dipimpin oleh orang-orang yang jujur,
menegakkan shalat, ber-akhlaqul karimah, pikirannya sehat dan tidak terkooptasi
oleh musuh-musuh Islam.
D.
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan
Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa
Daerah yang menjadi pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah. Pertentangan ini semakin meruncing dan
terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan
kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan
Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta. Pada tanggal
10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah
pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan
diri. Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut.
Perwira-perwira yang duduk di dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu adalah Letnan
Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dari Padang, Sumatera Barat) Kolonel
Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek. Pada tanggal 15
Februari 1958 pemberontakan mencapai puncaknya ketika Achmad Husein
memproklamirkan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI)
berikut pembentukan kabinetnya dan Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana
Menteri. Berdirinya PRRI ini selanjutnya mendapat sambutan di Indonesia bagian
Timur yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N.
Ventje Sumual, panglima TT VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian
pendapatan daerah secara adil, yakni daerah surplus mendapat 70 % dari
hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain Mayor
Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta
ini dapat menguasai daerah Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga
mendapat bantuan dari seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama
Allan Lawrence Pope. Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia
bagian timur ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan
senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan
berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29
Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya.
Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur
dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel
Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope
ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat
ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas
seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi
himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas
sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis.
Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an
tidak stabil.
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada
Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng.
Dari
pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara
AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan
di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam
rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada
perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk
mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih
tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:
1. melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur . Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:
1. melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur . Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas
dengan
keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa
mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.