Kamis, 06 Februari 2014

Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan




Pada tahun 2004, negara Indonesia mengadakan pemilu yang diikuti oleh 24 partai politik. Perhatikan gambar di atas! Pemilu di Indonesia dimulai pada tahun 1955 yang diikuti puluhan partai, organisasi masa, dan perorangan. Masih ingatkah kalian bahwa setiap kali akan diselenggarakan Pemilihan Umum diadakan kampanye dari masing- masing partai politik peserta pemilu? Dalam kampanye tersebut dipaparkan masing- masing program partainya. Hal ini merupakan pendidikan politik bagi rakyat. Akan tetapi dalam kampanye seringkali ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan karena adanya pelanggaran dari aturan yang dibuat bersama. Rakyat sering menjadi korban dari orang- orang yang tidak bertanggung jawab ketika adanya arak- arakan kampanye. Walaupun seringkali memakan korban dari kampanye yang merupakan rentetan dari pemilu, namun Pemilihan Umum tetap diadakan sebab merupakan syarat sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi mulai melaksanakan Pemilihan Umum pada tahun 1955. Pemilu I tahun 1955 yang didambakan rakyat dapat meperbaiki keadaan ternyata hasilnya tidak memenuhi harapan rakyat. Krisis politik yang berkepanjangan akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itulah kehidupan bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Demokrasi Terpimpin. Peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi Indonesia pasca Pengakuan Kedaulatan tersebut akan kita pelajari dalam bab ini.
A Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI (NKRI)
Seperti telah kalian pelajari pada bab II bahwa dengan melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya bangsa Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Penandatanganan pengakuan kedaulatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan diakuinya kedaulatan Indonesia ini maka bentuk negara Indonesia adalah menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Undang – Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan adalah Undang- Undang Dasar RIS. Tentunya kalian masih ingat bahwa salah satu hasil Konferensi Meja Bundar adalah bahwa Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya setelah KMB kemudian dilaksanakan pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Berdasarkan UUD RIS bentuk negara kita adalah federal, yang terdiri dari tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom. Adapun tujuh negara bagian RIS tersebut adalah :
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
Sedangkan kesembilan daerah otonom itu adalah:
(1) Riau,                     (6) Banjar,
(2) Bangka,                 (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung,                (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat,   (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
Negara-negara bagian di atas serta daerah- daerah otonom merupakan negara boneka ( tidak dapat bergerak sendiri) adalah ciptaan Belanda. Negara- negara boneka ini dimaksudkan akan dikendalikan Belanda yang bertujuan untuk mengalahkan RI yang juga ikut di dalamnya. Bentuk negara federalis bukanlah bentuk negara yang dicita- citakan oleh bangsa Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita- cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS berusia kira- kira enam bulan, suara- suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan bangsa Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan golongan mereka yang setuju dengan bentuk negara Serikat (golongan federalis) semakin terlihat kejahatannya ketika Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang menjabat sebagai Menteri Negara bersekongkol dengan Westerling. Raymond Westerling melakukan aksi pembantaian terhadap ribuan rakyat di Sulawesi Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
Petualangan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada bulan Januari 1950 menjadikan rakyat semakin tidak puas terhadap kondisi pemerintahan RIS. Oleh karena itu rakyat Bandung menuntut dibubarkannya pemerintahan negara Pasundan untuk menggabungkan diri dengan RI. Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan undang-undang darurat yang isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada Komisaris Negara (RIS), Sewaka. Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan dan negara-negara bagian lain. Negara-negara bagian lain yang menyusul itu cenderung untuk bergabung dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian saja dalam RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950 Presiden Sukawati dari NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI menjadi negara kesatuan. Melihat dukungan untuk kembali ke NKRI semakin luas, maka diselenggarakanlah pertemuan antara Moh. Hatta dari RIS, Sukawati dari Negara Indonesia Timur dan Mansur dari Negara Sumatera Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS yang juga mewakili NIT dan Sumatera Timur dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini dicapai kesepakatan untuk kembali ke Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering disebut dengan Piagam
Persetujuan, yang isinya sebagai berikut:
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang- Undang Dasar Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat itulah Negara Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Jadi berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan Sistem Kabinet Presidensiil.


B. Pemilihan Umum I Tahun 1955 di Tingkat Pusat dan Daerah
Semenjak Indonesia menggunakan sistem Kabinet Parlementer keadaan politik tidak stabil. Partai-partai politik tidak bekerja untuk kepentingan rakyat akan tetapi hanya untuk kepentingan golongannya saja. Wakil-wakil rakyat yang duduk di Parlemen merupakan wakil-wakil partai yang saling bertentangan. Keadaan yang demikian rakyat menginginkan segera dilaksanakan pemilihan umum. Dengan pemilihan umum diharapkan dapat terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga dapat memperjuangkan aspirasi rakyat sehingga terbentuk pemerintahan yang stabil. Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet, misalnya kabinet Alisastroamijoyo I bahkan telah menetapkan tanggal pelaksanaan pemilu. Akan tetapi Kabinet Ali I tersebut sudah jatuh sebelum melaksanakan Pemilihan Umum. Akhirnya pesta demokrasi rakyat tersebut baru dapat dilaksanakan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum Pusat dilaksanakan dalam dua gelombang, yakni :
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
Suatu pesta demokrasi nasional pertama kali yang diadakan sejak Indonesia merdeka itu dilakukan oleh lebih dari 39 juta rakyat Indonesia. Mereka mendatangi tempat-tempat pemungutan suara guna menyalurkan haknya sebagai pemilih. Dalam pelaksanakannya, Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dalam Pemilihan Umum tersebut diikuti oleh banyak partai politik, organisasi, dan perorangan pun juga ikut, sehingga DPR terbagi dalam banyak fraksi di antaranya keluar sebagai empat besar adalah : (1) Fraksi Masyumi (60 anggota); (2) Fraksi PNI (58 anggota); (3) Fraksi NU (47 anggota); (4) Fraksi PKI (32 anggota). Seluruh anggota DPR hasil Pemilu I tersebut berjumlah 272 anggota, yaitu dengan perhitungan bahwa seorang anggota DPR mewakili 300.000 orang penduduk. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang. Pada tanggal 25 Maret 1956 DPR hasil pemilihan umum dilatik. Sedangkan anggota konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956. Pemilihan Umum I tahun 1955 berjalan secara demokratis, aman, dan tertib sehingga merupakan suatu prestasi yang luar biasa di mana rakyat telah dapat menyalurkan haknya tanpa adanya paksaan dan ancaman. Walaupun Pemilu berjalan sukses akan tetapi hasil dari Pemilu tersebut belum dapat memenuhi harapan rakyat karena masing- masing partai masih mengutamakan kepentingan partainya daripada untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu pada waktu itu masih mengalami krisis politik dan berakibat lahirnya Demokrasi Terpimpin.
C. Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkannya
Pada Pemilu I tahun 1955 rakyat selain memilih anggota DPR juga memilih anggota badan Konstituante. Badan ini bertugas menyusun Undang-Undang Dasar sebab ketika Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Sejak itu pula di negara kita diterapkan Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Pertentangan antarpartai politik seringkali terjadi. Situasi politik dalam negeri tidak stabil dan di daerah-daerah mengalami kegoncangan karena berdirinya berbagai dewan, seperti Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi gerakan yang ingin memisahkan diri.
Karena keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
Partai-partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi ini dan berpenadapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Karena keadaan politik semakin hangat maka Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan Darurat Perang bagi seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan di daerah kemudian memuncak dengan pemberontakan PRRI dan Permesta. Setelah keadaan aman maka Konstituante mulai bersidang untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante ini berlangsung sampai beberapa kali yang memakan waktu kurang lebih tiga tahun, yakni sejak sidang pertama di Bandung tanggal 10 November 1956 sampai akhir tahun 1958. Akan tetapi sidang tersebut tidak membuahkan hasil yakni untuk merumuskan Undang-Undang Dasar dan hanya merupakan perdebatan sengit.
Perdebatan-perdebatan itu semakin memuncak ketika akan menetapkan dasar negara. Persoalan yang menjadi penyebabnya adalah adanya dua kelompok yakni kelompok partai-partai Islam yang menghendaki dasar negara Islam dan kelompok partai-partai non-Islam yang menghendaki dasar negara Pancasila. Kelompok pendukung Pancasila mempunyai suara lebih besar daripada golongan Islam akan tetapi belum mencapai mayoritas 2/3 suara untuk mengesahkan suatu keputusan tentang Dasar Negara (pasal 137 UUD S 1950). Pada tanggal 22 April 1959 di hadapan Konstituante, Presiden Soekarno berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Pihak yang pro dan militer mendesak kepada Presiden Soekarno untuk segera mengundangkan kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui dekrit. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat Indonesia. Adapun isi Dekrit Presiden tersebut adalah:
1) pembubaran Konstituante,
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka negara kita memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka dibentuklah beberapa lembaga negara yakni: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Dalam pidato Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato yang terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL) ini oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Presiden Soekarno bahwa inti dari Manipol ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK.
Dengan demikian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bernegara ini baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dalam bidang politik, semua lembaga negara harus berintikan Nasakom yakni ada unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis. Dalam bidang ekonomi pemerintah menerapkan ekonomi terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam bidang impor hanya dikuasai orang- orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Sedangkan dalam bidang sosial budaya, pemerintah melarang budaya-budaya yang berbau Barat dan dianggap sebagai bentuk penjajahan baru atau Neo Kolonialis dan imperalisme (Nekolim) sebab dalam hal ini pemerintah lebih condong ke Blok Timur.
D. Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an
Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari keadaan politik nasional. Beberapa hal yang menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.
1. Hubungan Pusat-Daerah
Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya. Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan yang berusaha memisahkan diri (separatis) dari pemerintah pusat sehingga hubungan antara pusat dengan daerah kurang harmonis. Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah yang guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah yang dilakukan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.
2. Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis
Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri. Pada saat itu kabinet yang berkuasa silih berganti. Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
b. Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
c. Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
d. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Dengan sistem kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Jadi apabila parlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah maka dapat menjatuhkannya. Pada waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak dapat menjalankan programnya. Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga seperti anggota- anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari puluhan partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut ternyata tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini akhirnya mendorong presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
3. Pergolakan Sosial Politik
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat. Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia. Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Protes yang lain juga dilakukan oleh daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan pusat tidak memperhatikan daerah. Khususnya di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara pemerintah dianggap membiarkan penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi penguasa-penguasa daerah. Beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas dengan alokasi biaya pembangungan yang diterimanya dari pusat. Selain itu kelemahan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan politik di daerah-daerah terbukti tampilnya perebutan kekuasaan di daerah oleh pihak militer. Menurut pandangan mereka pemerintah pusat tidak cakap dalam memerhatikan kepentingan daerah, tidak adil dalam pembagian pendapatan ekspor dan terlalu birokratis dalam menyelesaikan sesuatu urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak. Kelemahan-kelemahan pusat ini nantinya akan berakibat munculnyapemberontakan di daerah-daerah. Pergolakan di daerah ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 20 Desember 1956. Gerakan ini selanjutnya diikuti oleh terbentuknya Dewan Gajah, dan Dewan Manguni. Gerakan pengambilalihan kekuasaan ini selanjutnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958 yang dikenal dengan pemberontakan “PRRI-Permesta.” Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut.
A. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 adalah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya. Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan. Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke kota Bandung, tentara APRA juga melakukan perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda
.
v Latar belakang APRA:
a. Tentara APRA sesungguhnya ingin menjadi tentara Pasundan dan menolak TNI,
b. Saat Negara RIS dibagi menjadi beberapa bagian (termasuk Pasundan yang ingin kembali ke NKRI) ada beberapa kelompok yang menamai diri sebagai APRA dan mereka ingin bertanggung jawab atas kemanan Pasundan atau ingin menjadi tentara nasional Pasundan,
c. Mempertahankan NIT dan tuntutan pada RIS.
v Dipimpin oleh Sultan Hamid kedua (ketua BFO) dengan latar mempertahankan Pasundan
v Terjadi pada 23 – 24 Januari 1950 di Bandung.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/6/6d/Apra.JPG



B. Pemberontakan Andi Azis
http://2.bp.blogspot.com/-2-YhSS5Tjr4/UIDVg4z8PbI/AAAAAAAAAFY/W5_inWIZui8/s1600/andi+aziz.jpg
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
v Latar belakang  : Mempertahankan NIT
v Penyelesaian  :
a. Tahap 1, Andi Azis diminta ke Jakarta untuk diadili, namun tidak datang,
b. Tahap 2, Diberi alternatif, menyerah dan bila tetap bertahan di Sulawesi maka pasukannya
akan dimusnahkan.
            Andi Aziz merupakan seorang mantan perwira KNIL. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama dengan pasukan KNIL di bawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS di hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Aziz  ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1 batalion TNI dari Jawa. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
http://2.bp.blogspot.com/-tX_8_w4IffQ/UIDW0vJkP6I/AAAAAAAAAFg/jIxPOB0vUSg/s320/andi.jpg
 
Pada 5 April 1950, pasukan Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil menguasainya bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz dan diganti Ir. Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950 mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi Aziz terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.
Tanggal 26 April 1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama karena keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada waktu itu berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur pasukan lawan. Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL. 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah sangat kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya kedua belah pihak setuju untuk dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL harus meninggalkan Makassar.
Latar belakang timbulnya pemberontakan Andi Aziz adalah sebagai berikut :
1.Timbulnya pertentangan pendapat mengenai peleburan Negara bagian Indonesia Timur (NIT) ke dalam negara RI. Ada pihak yang tetap menginginkan NIT tetap dipertahankan dan tetap merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan di satu pihak lagi menginginkan NIT melebur ke negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta.
2. Ada perasaan curiga di kalangan bekas anggota – anggota KNIL yang disalurkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Setikat (APRIS)/TNI. Anggota – anggota KNIL beranggapan bahwa pemerintah akan menganaktirikannya, sedangkan pada pihak TNI sendiri ada semacam kecanggungan untuk bekerja sama dengan bekas lawan mereka selama perang kemerdekaan.
Kedua hal tersebut mendorong lahirnya pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh bekas tentara KNIL, Andi Aziz, pada tanggal 5 April 1950. Padahal sebelumnya, pemerintah telah mengangkat Andi Aziz menjadi Kapten dalam suatu acara pelantikan penerimaan bekas anggota KNIL ke dalam tubuh APRIS pada tanggal 30 Maret 1950. Namun, karena Kapten Andi Aziz termakan hasutan Mr. Dr. Soumokil yang menginginkan tetap dipertahankannya Negara Indonesia Timur (NIT), akhirnya ia mengerahkan anak buahnya untuk menyerag Markas Panglima Territorium. Ia bersama anak buahnya melucuti senjata TNI yang menjaga daerah tersebut. Di samping itu, Kapten Andi Abdul Aziz berusaha menghalang – halangi pendaratan pasukan TNI ke Makassar karena dianggapnya bahwa tanggung jawab Makassar harus berada di tangan bekas tentara KNIL.
Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
1.      Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur.
  1. Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI
  2. Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
 Dengan anggapan sudah merasa kuat pada tanggal 5 April 1950, setelah menangkap dan menawan Letnan kolonel Mokoginta, Panglima Territorium Sulawesi, Kapten Andi Aziz mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah pusat di Jakarta.

 Adapun isi pernyataan itu adalah sebagai berikut :
1.  Negara Indonesia Timur harus tetap dipertahankan agar tetap berdiri menjadi bagian dari RIS.
2. Tanggung jawab keselamatan daerah NIT agar diserahkan kepada pasukan KNIL yang telah masuk menjadi anggota APRIS. TNI yang bukan berasal dari KNIL tidak perlu turut campur.
3.  Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta supaya tidak mengizinkan NIT dibubarkan dan bersatu dengan Republik Indonesia.
Karena tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasukannya harus dikonsinyasi,senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
C. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah. Setelah kota Ambon jatuh ke tangan pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan pengacauan.
v Latar belakang : Mempertahankan Maluku Selatan
v Dipimpin oleh : Dr. Soumakil (mantan Jaksa Agung NIT)
v Dalam pertempuran Niew Victoria,  gugurlah Kolonel Slamet Riyadi
Bahwa perjuangan kemerdekaan Maluku lewat proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) itu tidak akan merugikan hak hidup bangsa manapun juga, termasuk pemerintah Belanda dan pemerintah RI... (Ketua Eksekutif "Missi Rakyat Maluku", D Sahalessy dalam suratnya kepada BJ Habibie dan Jenderal Wiranto).KUTIPAN pernyataan di atas, merupakan materi surat resmi yang dikirim dari kantor 'pemerintahan pengasingan RMS' di De Klenckestraat 42, 9404 KW Assen-The Netherlands (telp 31592 352141), tertanggal 15 November 1998. Tembusan surat tersebut dikirimkan pula kepada Komnas HAM di Jakarta, Kementerian Luar Negeri Belanda di Den Haag, EIR-International di New York dan sejumlah instansi internasional terkait serta dewan mahasiswa di Indonesia. Dokumen surat -- yang diungkap pula oleh mantan Kastaf Kodam VIII/Trikora Jayapura, Brigjen TNI (Purn) Rustam Kastor -- ini, secara jelas dan 'jantan' menyatakan keinginannya untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Misalnya, di awal suratnya, D Sahalessy menulis sbb:...Atas kewajiban kami selaku Ketua Pelaksana Missi Rakyat Maluku dan Pejuang Kemerdekaan yang mendambakan Kemerdekaan dan Kedaulatan Nusa dan Bangsa Maluku, kami hadapkan 'Surat Pergembalaan' ini kehadapan Bapak-bapak.
Demi ketergantungan hidup manusia kepada Tanah Airnya dan Masyarakat Adatnya masing-masing, maka Pancasila dan Undang-undang Dasar '45, antara lain menegaskan bahwa "kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi, karena hal itu tidak sesuai dengan keadilan dan prikemanusiaan". Atas pernyataan ini, kami anjurkan agar Bapak-bapak menggarisbawahi "kekeliruan-kekeliruan" yang dilakukan Pemerintah RI dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa sejak Juni 1950 hingga detik saat ini.Yang cukup menarik untuk dicermati, surat yang disampaikan kepada pemerintah RI setahun sebelum terjadinya aksi pembantaian terhadap umat Islam di Kota Ambon, Idul Fitri, 19 Januari 1999 itu, juga mengajukan lima tuntutan yang mesti dipenuhi, yakni:
  1. Agar tindakan-tindakan eksploitasi dan Jawanisasi di Maluku dan lain-lain kepulauan di luar tanah Jawa dihentikan,
  2. Agar tulang-belulang dari putra-putri Maluku yang terbunuh selama invasi militer RI di Maluku (1950-1967) itu dapat dikumpulkan untuk dimakamkan dalam suatu Taman Makam Pahlawan,
  3. Agar tulang-belulang dari Mr. Doktor Christian Soumokil (Bapak Kebangsaan dan Pahlawan Keadilan Maluku) yang dibunuh secara rahasia oleh ABRI di pengasingan pada tanggal 12 April 1966 itu dapatlah dikumpulkan untuk dimakamkan di Maluku Tanah Air kami,
  4. Agar semua usaha menuntut kemerdekaan Maluku lewat konstitusi Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku janganlah ditindas atau dapatlah dibantu oleh ABRI,
  5. Agar tindakan-tindakan polarisasi yang dilakukan lewat intelek Maluku golongan aparatip yang memfrustasikan perjuangan kemerdekaan Maluku di dalam maupun di luar negeri itu, dihentikan.
Selain surat tersebut, bukti-bukti awal yang menunjukkan terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku, juga dapat diketahui dari dokumen 'bocoran'-nya -- faksi lain di RMS -- yang menamakan dirinya sebagai "Presidium Sementara RMS Ambon."Pada tangal 14 November 1998, presidium tersebut mengeluarkan "Surat Perintah Tugas" No. 01/PS.04.1/XI/98, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Presidium, masing-masing bernama O. Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa. Isi surat tugas berupa perintah kepada D Pattiwaelappia (jabatan Ketua Komisi Bidang Komunikasi), A Pattiradjawane (Ketua Komisi Bidang Hukum) dan S. Saiya (Staf Komisi Bidang Komunikasi), untuk melaksanakan missi perjuangan RSM.
Kepada ketiga orang tersebut, diberi tugas dan wewenang sbb:
  1. Melakukan upaya-upaya diplomasi dan pendekatan dengan warga masyarakat Maluku di perantauan dalam rangka konsolidasi kekuatan dan penggalangan persatuan,
  2. Mengadakan koordinasi dengan tokoh-tokoh intelektual tertentu di kota atau daerah tujuan untuk membentuk perwakilan presidium atau pun organisasi perjuangan yang memungkinkan sesuai dengan kondisi setempat,
  3. Berusaha menghimpun dana secara sukarela dari warga setempat untuk mendukung kebutuhan pembiayaan program perjuangan,
  4. Melaporkan hasil pekerjaan secara berkala guna keperluan pengendalian dan evaluasi.
Surat tugas juga menyebutkan daerah tujuan yakni Jakarta, Surabaya, dan kota-kota tertentu di Pulau Jawa. Juga, ditentukan soal keberangkatannya yakni mulai 16 November s.d. media Desember 1998.Bersamaan dengan keluarnya surat tugas, Presidium Sementara RMS di Ambon membuat pula surat pengantar bernomer 02/PS.05.1/XI/98, perihal "Permohonan Bantuan", dilengkapi lampiran sebanyak sepuluh daftar. Isi surat diawali dengan kalimat antara lain:Pertama-tama, terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria".
Selanjutnya, ditulis:Kami merasa mendapat kehormatan untuk menjumpai Bapak, Ibu dan semua saudara segandong yang sementara ini berada di Tanah Perantauan, untuk menyampaikan perkembangan terakhir yang sedang terjadi di kalangan rakyat dan masyarakat Maluku dewasa ini.
Secara singkat boleh kami katakan bahwa tingkat kesabaran dan daya tahan rakyat dalam menghadapi kondisi perekonomian maupun situasi politik yang dikendalikan dari Pusat (Jakarta), sudah berada pada titik yang sangat rawan. Bahwa demi untuk mencegah terjadinya tindakan lepas kontrol yang dapat membahayakan diri, keluarga maupun masyarakat banyak, kami terpaksa telah mengambil tanggungjawab kolektif tadi dan menyusun sebuah program perjuangan sesuai dengan kemampuan kami yang sangat terbatas.Dalam rangka itulah kami sungguh memerlukan support, baik moral maupun material terutama dari Bapak/Ibu yang memiliki kelebihan berkat Tuhan. Demikian dengan susah payah kami telah mengutus tiga orang teman ini, sambil mengharapkan uluran tangan Bapak/Ibu semua. Kami percaya bahwa semua saudara segandong di rantau tidak akan sampai hati membiarkan kami berjalan sendirian sebab 'potong di kuku rasa di daging'. Semoga Tuhan tetap menjaga dan memelihara kita semua dengan kelimpahan berkat Sorgawi. Amatooo...DARI Ambon, Presidium Sementara Republik Maluku Selatan (RMS) -- pada 14 November 1998 -- mengeluarkan 'Seruan' yang ditujukan kepada warga Maluku di Belanda.Seruan yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen Presidium Sementara RMS, masing-masing O Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa itu, diawali dengan kalimat:
"Kepada Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, putra-putri Maluku yang sementara berdiam di negeri Belanda."
  1. Terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria",
  2. Dengarlah seruan kami dari jauh, dari Maluku, Tanah Tumpah Darah Kita:
    • Saat ini, rakyat Maluku di Tanah Air sudah tidak sabar lagi untuk merdeka,
    • Kebencian rakyat terhadap Pemerintah Indonesia sudah mencapai puncaknya,
    • Untuk sementara, kami harus mengambil tanggungjawab memimpin dan mengarahkan perjuangan di Tanah Air agar supaya tidak berjalan sendiri-sendiri, yang nanti bisa menyusahkan banyak orang,
    • Kami sangat mengharapkan dukungan dan bantuan saudara-saudara dari negeri Belanda dalam menyokong perjuangan ini agar kiranya dapat berjalan lancar dan sukses dalam waktu yang tidak terlalu lama,
    • Sesungguhnya perjuangan ini adalah tanggungjawab setiap anak Maluku, di mana pun berada. Karena itu, janganlah biarkan kami sendiri,
    • Kami percaya bahwa nasib masa depan anak cucu kita ada di Tanah Air Maluku tercinta.
Pada akhir "Seruan", ditulisnya kalimat sbb:
"Biar Hujan Emas di Negeri Orang, Tidak Sama Hujan Batu di Negeri Sendiri." Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan perlindungan kepada kita, sampai bertemu nanti di Tanah Air.
Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya gerakan pemberontakan RMS pada akhir tahun 1998, juga ditemui oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag. Dalam laporan khususnya yang disampaikan oleh Kantor Atase Pertahanan (Athan) KBRI Den Haag tertanggal 18 Desember 1998 -- ditandatangani Athan KBRI, Kol. Laut (E) Ir. Wahyudi Widajanto, MSc -- diungkapkan antara lain: Adanya informasi ihwal mulai tumbuhnya "embrio" kelompok RMS di Indonesia, khususnya di Jakarta.Selain itu, juga diungkap: Berita yang dimuat oleh Harian Belanda "Rotterdam Dagbland" (Selasa, 11 Januari 2000) yang intinya menyebutkan bahwa Pemerintah RMS di pengasingan mempersiapkan diri untuk mengambil alih kekuasaan di daerah Maluku Selatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden RMS, F.LJ Tutuhatuwena. Dia mengatakan, bahwa upaya yang ditempuh adalah dengan membentuk suatu struktur organisasi yang dapat mengambil alih kekuasaan dari Jakarta.Diinformasikan pula bahwa saat ini di Maluku telah berada beberapa puluh penganut dan simpatisan RMS yang diharapkan dapat merealisasikan cita-cita mereka. Skenario yang mereka inginkan adalah pengambilalihan kekuasaan tanpa kekerasan dengan memanfaatkan krisis ekonomi dan politik di dalam negeri saat ini.
Untuk itu, telah dibentuk suatu kabinet bayangan dengan tugas menjaga agar kehidupan masyarakat Maluku terus berjalan normal apabila pemerintah di Jakarta jatuh. Tugas berikutnya adalah melucuti dan membubarkan tentara Indonesia yang masih berada di Maluku.Hingga kini bantuan dari masyarakat Maluku di Belanda adalah bantuan nasihat dan keuangan, dan belum ada permintaan bantuan senjata dari Maluku. Selanjutnya, pada 19 Desember 1998 yang akan datang di Barneveld, Belanda akan diselenggarakan pertemuan antara RMS dengan Badan Persatuan Maluku sebagai pendukung RMS dengan tujuan untuk membicarakan rencana aktivitas apa yang akan ditempuh selanjutnya.DALAM kaitannya dengan SK Menkeh RI No. M. 01.iZ.01.02 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Pembebasan Keharusan Memiliki Visa Bagi Wisatawan Asing, pihak Athan KBRI Den Haag menganalisisnya: sebagai sesuatu yang dimanfaatkan oleh kelompok RMS untuk menyusupkan kaki tangannya -- yang notabene mereka kemungkinan besar tidak terdaftar sebagai anggota kelompok RMS -- ke Indonesia untuk berkunjung. Selanjutnya, mereka itu "menghilang" di tanah air dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan kita di tanah air. Orang-orang inilah yang kemungkinan besar merupakan pioner tumbuhnya kembali kelompok RMS di Indonesia.
Athan KBRI Den Haag juga menyimpulkan:
Kelompok RMS secara jelas telah semakin serius, terorganisir serta terencana dalam upaya-upaya mewujudkan cita-citanya dengan memanfaatkan situasi krisis ekonomi dan politik di dalam negeri akhir-akhir ini.
Pergerakan simpatisan dan aktivis RMS di Den Haag ini benar-benar memperoleh perhatian yang optimal dari KBRI Den Haag. Dalam kawat khususnya -- bernomer 147/div.12/98 -- yang dikirimkan kepada Menlu, Menko Polkam, Mendagri, Menhankam/Pangab dan Menkeh, KBRI Den Haag melaporkan perihal pokok-pokok hasil pertemuan RMS di Barneveld pada 19 Desember 1998.
Disebutkannya:
  • pertemuan dihadiri oleh 8 organisasi masyarakat Maluku termasuk 'badan persatuan' yang berhaluan keras dan merupakan pendukung utama RMS.
  • pertemuan telah membentuk suatu struktur organisasi yang dinamakan 'Kongres Nasional Maluku' dengan tujuan utama mendukung dan memiliki tugas politik dan peralihan kekuasaan.
  • "Pemerintahan RMS" dalam pengasingan akan memberikan senjata kepada organisasi-organisasi di Maluku yang diharapkan akan ikut serta dalam pengambilalihan kekuasaan apabila Pemerintah Indonesia jatuh.
  • Menteri Urusan Umum RMS, J.W Wattilete yang diharapkan akan menggantikan "Presiden RMS" Tutuhatunewa kepada pers mengatakan bahwa perebutan kekuasaan dengan senjata merupakan jalan terakhir kalau dengan cara damai tidak berhasil.
  • Kalau kelompok-kelompok di Maluku minta bantuan senjata akan ditanggapi dengan serius.
  • Kesempatan semacam ini tidak akan terulang lagi dan harus dimanfaatkan.
SOAL keseriusan para aktivis dan simpatisan RMS mewujudkan cita-citanya, sebenarnya kian jelas dengan terjadinya berbagai peristiwa pancingan yang dilakukan dengan cara mengusir suku Bugis Buton Makassar (BBM) yang sudah hidup puluhan tahun di Ambon dan sekitarnya.
Hal itu terjadi pada medio November 1998 -- atau satu bulan sebelum 19 Januari 1999 (Idul Fitri Berdarah) -- di Kampung Hative Besar Ambon. Di basis pemberontak RMS itu, ratusan orang Islam yang berlatarbelakang BBM diusir, dibunuh dan seluruh rumahnya dibakar habis.
Di tengah-tengah aksi penyerangan tersebut, umat Islam menemukan sejumlah dokumen pemberontakan RMS. Sayangnya, dokumen diserahkan begitu saja oleh umat Islam kepada aparat keamanan, tanpa sempat terlebih dulu mem-foto-copy.
Demikian halnya, dalam setiap peristiwa pertempuran antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat, di antara mereka kerapkali meneriakkan yel-yel seperti "Hidup RMS", "Hidup Israel", "Anda Memasuki Wilayah RMS-Israel", atau salam kebangsaan RMS yang berbunyi "Mena Moeria Menang".
Jauh-jauh hari sebelum itu, sebenarnya pihak berwajib di Ambon sudah "mengendus" gerakan pemberontak RMS. Pada tahun 1989, Korem 174/Patimura -- yang komandannya waktu itu adalah Kol. Inf. Rustam Kastor -- berhasil membongkar jaringan organisasi RMS di Kota Ambon yang mempunyai rencana besar. Antara lain adanya rencana membangun kekuatan bersenjata di Pulau Seram.Menurut Rustam Kastor, seorang mantan perwira menengah TNI AD, yakni Letkol Inf (Purn) Ony Manuhutu (Jakarta) dilibatkan untuk menuntaskan rencana sekaligus memimpin kekuatan bersenjata di lapangan. Dalam kaitan ini, gudang senjata TNI milik Lantamal di Ambon siap diserbu dan dibongkar untuk diambil senjata serta amunisinya. Untuk itu, sudah disiapkan dukungan dari seorang bintara penjaga gudang amunisi tersebut.Persiapan pemberontakan juga tampak dari ditemukannya senapan jenis karaben beserta sejumlah amunisi di sebuah gereja tua pada benteng Amsterdam, di Desa Hila Kaitetu. Kepada penulis yang mengunjungi lokasi tersebut (Maret 1999), sejumlah saksi mata mengatakan, penemuan itu sebenarnya tak diduga tatkala terjadi bentrokan antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat.Usaha penggalanan dana dan senjata untuk pemberontakan RMS, juga diakui oleh Presiden RMS di pengasingan yaitu Dokter Tutuhatunewa (76). Dia mengakui mengucurkan dana perang ke Maluku. Meski tak bersedia menyebut jumlah dana yang disampaikannya ke Ambon-Maluku, tapi dana itu sudah diserahkan kepada kelompok tertentu (Tempo edisi 26 Desember 1999).
Selain itu, Tempo juga menyebutkan pada Agustus 1999 aparat keamanan menemukan uang sejumlah Rp 500 juta dari lima penumpang Kapal Bukit Siguntang yang berlabuh di Pelabuhan Ambon. Uang tersebut dikemas dalam ratusan amplop dengan tertulis nama organisasi "Satu Bantu Satu, Maluku-Netherland". Menurut keterangan Imam Besar Mesjid Al Fatah Ambon, KH Abdul Aziz Arby, Lc., organisasi tersebut diduga punya hubungan dengan sebuah organisasi di daerah Ciledug, Jakarta.Sejumlah nara sumber penulis di Ambon dan Maluku Utara menyebutkan, gerakan RMS diduga kuat memperoleh dukungan dari pihak Yahudi Israel. Disebutkannya, dalam internet beberapa waktu lalu, sempat ada situs RMS yang menampilkan artikel terbitan Israel yakni United Israel Bulletin (UIB). Buletin itu mengungkapkan harapan RMS untuk mendapat dukungan dari Israel.Koresponden UIB di PBB, David Horowits -- dalam terbitan musim panas 1997 -- menulis: mayoritas pendukung RMS memang dekat dengan Yahudi-Israel. Selama beberapa kali peringatan hari kemerdekaan RMS di Maluku, bendera Israel bersama emblem AS dan Belanda dipadukan dengan emblem RMS.RMS juga punya hubungan dengan gerakan serupa di Timtim. Buktinya, di situs Djangan Lupa Maluku: www.dlm.org. dapat dijumpai naskah proklamasi RMS yang dibacakan pada tahun 1950 dan ditandatangani JH Manuhutu serta A Wirisal.Salah satu berita yang menarik yang dirilis UIB -- selain tentang persahabatan RMS dan Israel -- juga artikel itu mengungkapkan hubungan antara RMS dan pergerakan di Timtim yang dipimpin Jose Ramos Horta. Menurut David Horowits, ketika Horta menerima Nobel, saat itu salah satu menteri RMS, Edwin Matahelumual mengirim surat kepada Horta.
Pada harian De Volkskrant (edisi 12 Januari 2000) dilaporkan di halaman depan, RMS mengumpulkan dana dari orang-orang Maluku di Belanda. Dana itu untuk membeli senjata guna membantu "saudara-saudara Kristen" di Maluku.
Melalui jaringan internasional, tulis harian De Volkskrant, dana yang terkumpul tersebut akan dibelikan senjata yang selanjutnya dikirim ke Maluku Tengah melalui Filipina Selatan.Harian Brabants Dagblad (edisi 17 Desember 1999) memberitakan pertemuan lima wakil pemerintahan RMS di pengasingan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Mengutip ketua delegasi, Otto Matulessy, harian itu menyatakan, Presiden Abdurrahman Wahid menghendaki partisipasi masyarakat Maluku di Belanda, terutama pemerintah pengasingan RMS, untuk membantu membangun Maluku.Kita tentunya menjadi 'bingung' mengetahui sikap Abdurrahman Wahid yang menerima perwakilan RMS tersebut. Ya, sama 'bingung'-nya kita dengan tidak adanya pernyataan resmi dari pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati untuk menyebutkan ihwal terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku. Bukankah fakta-fakta sudah jelas dan bukti-bukti awal sudah ada yang bisa disimpulkan perihal terjadinya suatu pemberontakan RMS?Sikap pemerintah dalam kasus Ambon-Maluku ini benar-benar "aneh bin ajaib" sekaligus diskriminatif. Ketika terjadi kasus peledakan mesjid Istiqlal dan terungkapnya kasus kelompok AMIN di Bogor, pemerintah begitu mudahnya menyatakan ada gerakan untuk mendirikan negara Islam sekaligus mengganti dasar negara Pancasila. Padahal bukti-buktinya tidak ada.Sedangkan dalam kasus Ambon-Maluku, pemerintah "diam seribu bahasa". Bahkan umat Islam yang melakukan penumpasan terhadap para pemberontak RMS, justru disalahkan. Laporan-laporan temuan dokumen pemberontakan RMS -- baik yang disampaikan umat Islam maupun aparat keamanan level lapangan -- ternyata tidak digubris.
Bahkan opini yang kemudian dilontarkan serta ditumbuhsuburkan ke publik adalah rumor tentang adanya campur tangan "Cendana" beserta kroni-kroninya, oknum TNI/Polri, dan kalangan status quo.Para pengamat yang semestinya berpikir objektif dan proporsional, ternyata tak jauh berbeda dengan perilaku elit politik. Mereka menyoroti persoalan Ambon-Maluku dari perspektif rumors. Kalaupun ada, sekadar menengoknya dari segi sosiologi, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik seperti rebutan jabatan di struktur pemerintahan.Para pengamat, boleh jadi, bisa mengungkapkan analisisnya -- hingga mulutnya berbusa -- namun sebenarnya yang terjadi di lapangan tidaklah semacam itu. Substansi kualitatif analisis dan asumsi pengamat seperti soal kesenjangan sosial ekonomi, itu pada dasarnya hanyalah 'muatan' yang menumpangi akar masalah sesungguhnya dalam kasus Ambon-Maluku.Ya, tak jauh bedanya dengan asumsi kasus pembantaian terhadap umat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Saat itu bahkan hingga kini, di tengah masyarakat 'tersebar' asumsi adanya kesengajaan oknum militer untuk mengacaukan situasi, lalu ketika masyarakatnya mengungsi, maka mereka pun melakukan penjarahan seperti kayu ebonit atau kayu hitam. Padahal kenyataannya -- berdasarkan fakta di lapangan -- tidaklah demikian. Jika pun ada yang berbuat semacam itu, sekadar oknum dan jumlahnya pun sedikit.Yang semestinya dilihat oleh para pengamat, elit politik atau pejabat pemerintahan adalah fakta di lapangan -- alias di tengah konflik tersebut -- yakni adanya 'benang merah' pemberontakan RMS, baik di Ambon, Tual (Maluku Tenggara), Maluku Utara, dan Poso.Adanya rencana dan realisasi sistematis penyebaran "virus pemberontakan RMS", diakui pula oleh Ketua Forum Komunikasi Kerukunan Antar Umat Beragama Maluku Utara, Abdul Gani, MA.
Dikemukakannya, jauh-jauh hari sebelum terjadinya kasus pembantaian terhadap umat Islam oleh komunitas pemberontak RMS di Tual, Ternate, dan Halmahera (Maluku Utara), sejumlah tokoh Islam di MUI sudah mengingatkan masyarakat setempat karena saat itu, ada beberapa fenomena 'aneh tapi nyata' yang berkaitan dengan 'pemanasan' situasi di tengah masyarakat yang sebelumnya sudah rukun.Di Tual (Maluku Tenggara), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), umpamanya, mulai didatangi para pengungsi asal Ambon. Di antara pengungsi itu, ternyata ada sejumlah provokator dari kalangan RMS. Mereka menyebar isu adu domba dan menumbuhsuburkan fitnah kepada umat Islam, yang sebenarnya masih ada hubungan darah seperti yang terjadi di daerah Halmahera (Tobelo, Galela, Kao, Malifut, Ternate, dan sekitarnya). Nyatanya, benar, beberapa saat kemudian terjadilah aksi kerusuhan dan pembantaian terhadap umat Islam.Sebaliknya, ada fakta yang menunjukkan tidak semua daerah di Ambon bisa terkena "virus pemberontakan RMS". Ini bisa disaksikan langsung di daerah Wayame -- dekat Poka (tempat pembantaian terhadap umat Islam pada Juli 1999) -- di lokasi itu hidup rukun umat Islam dan umat Kristen. Hingga kini mereka tetap akrab, tidak saling menyerang. Bila malam hari, mereka sama-sama berjaga-jaga di pos keamanan lingkungan (kamling).Di tengah malam yang cukup dingin itu, terkadang di pos-pos kamling mereka menyanyikan lagu-lagu pujian agamanya, sedangkan umat Islamnya 'tenang-tenang' saja bersenandung shalawat badar atau nasyid islami. Tak ada pertengkaran. Bahkan di daerah itu ada sebuah mesjid dan beberapa gereja, yang masih utuh. Bila hari Jumat atau Minggu tiba, warga setempat pergi ke mesjid dan yang lainnya pergi ke gereja.Mengapa mereka bisa rukun? Menurut tokoh Islam setempat -- yang juga anggota DPRD Maluku -- ustadz H Muhammad Kasuba, MA, di Wayame ada sejumlah tokoh Kristen yang dikenal sebagai pendeta. Mereka membuat kesepakatan dan menyatakan tidak mau melakukan pembantaian terhadap umat Islam -- yang notabene jumlahnya sangat minim di daerah terebut -- karena menyadari kekeliruannya bila mengikuti ajakan para provokator pemberontakan RMS. Meski berkali-kali dibujuk rayu, para tokoh Kristen dan warga Kristen di daerah itu menolak bergabung dengan para pemberontak RMS.Fakta-fakta lapangan yang tak terbantahkan ini, ironisnya dianggap 'angin lewat' saja. Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya pemberontakan RMS, sama sekali tidak diperhitungkan dan di-cuekin terus-terusan oleh pemerintah.Hampir semua pejabat pemerintah RI sekarang menderita 'sariawan' stadium berat, sehingga tidak bisa membuat pernyataan jujur bahwa di Ambon dan Maluku telah terjadi tindakan subversif atau makar dari sejumlah orang yang ingin mendirikan Republik Maluku Sarani atau Republik Maluku Selatan (RMS).Sungguh, dunia memang -- boleh saja -- terbalik, namun kebenaran tidak bisa dibalikkan. Para elit politik boleh berakrobat membalikan akar masalah di Ambon-Maluku, tapi tetap saja 'masalahnya' tak akan selesai.Karenanya, cepat atau lambat, kebenaran terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku akan terungkap. Ya, setidaknya bila pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kelak dipimpin oleh orang-orang yang jujur, menegakkan shalat, ber-akhlaqul karimah, pikirannya sehat dan tidak terkooptasi oleh musuh-musuh Islam.
D. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan diri. Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut. Perwira-perwira yang duduk di dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dari Padang, Sumatera Barat) Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek. Pada tanggal 15 Februari 1958 pemberontakan mencapai puncaknya ketika Achmad Husein memproklamirkan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dan Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRRI ini selanjutnya mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil, yakni daerah surplus mendapat 70 % dari hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta ini dapat menguasai daerah Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga mendapat bantuan dari seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope. Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil. Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:
1. melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur . Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas
dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.